The Wind Cries Mary
oleh Giras Pasopati
T
|
ak ada yang berubah di ruangan ini dalam setiap
paginya. Sinar matahari yang masuk lewat jendela kayu di sisi timur ruangan
ini, suara radio yang menyeruak dari sudut meja kabinet di sebelah meja makan,
mug putih bergambar kerang yang berhiaskan jejak bibirmu yang berlipstik merah
hati. Lipstik maroon itu. Kau yang selalu menyiapkan segala suasana pagi itu.
Membuka jendela lebar-lebar, jendela yang dulunya berteralis yang kemudian
membuatmu memaksaku untuk menghilangkan teralisnya. Kau membenci semua jendela berteralis,
disaat semua orang modern berpikir tentang keamanan dan tetek bengeknya, kau
merasa teralis hanya membikinmu merasa seperti burung dalam sangkar. Kau juga
yang selalu menghidupkan radio keras-keras, stasiun radio yang sama tiap pagi,
yang memutar lagu-lagu yang menurut sebagian orang sudah kuno. Menurutku
asumsimu dan realitas yang terjadi setelah itu adalah selalu benar. Aku selalu
terkaget bangun kemudian.
Pagi
kita selalu sempit dalam hal waktu dan bagi atmosfer kita berdua. Waktu kita
hanya sebatas berapa lama mengunyah roti tawar dan menyeruput habis kopi
hitam. Setelah itu kita berpendar dan kembali terang bersama di malam hari. Kau
selalu berangkat lebih dahulu, meninggalkanku yang selalu menepati deal kita tempo dulu, mencuci piring
jika kau yang menyiapkan makanan. Selalu seperti itu.
Mungkin
kau tak pernah tahu, setiap kau pergi duluan aku selalu bersenandung sambil
mencuci piring, menyanyikan lagu-lagu di radio dengan kerasnya. Menyanyikannya,
merayakan kebahagiaan yang picisan ini, sebuah kebebasan sebelum aku
meninggalkan dapur dan berubah menjadi robot. Ya, beberapa dari kita semua
mungkin akan menjadi robot kelak. Dan akupun tak pernah membayangkannya dulu
waktu menjadi seorang aktivis mahasiswa. Rasa liar dan bangga selama menjadi
aktivis mahasiswa bisa dengan mudahnya runtuh ketika kita secara tidak langsung
dihadapkan pada realitas. Demi karier dan uang. Sisi liar dan rebel hilang saat kita semua tertunduk
pada meja dengan soal-soal psikotes macam Baum Tree, Pauli, Wartegg, Eneagram
dan lainnya. Membuat kebencian temporer pada para psikolog yang mencoba
men-generalisir setiap individu.
Berbeda
denganmu, saat itu aku hanya tunduk saja demi kebanggaan orang tuaku, yang
memiliki asa tinggi kepadaku. Dirimu saat itu masih kuat, hingga saat ini
mungkin. Ketika kau memutuskan untuk menjadi seorang jurnalis dijaman yang
otoriter ini, sebenarnya aku malu. Tapi kau tak pernah mempermasalahkan hal
ini, kau bukan orang idealis yang fasis akan idealismenya. Kau selalu merasa semua
orang memiliki hak untuk memilih lakonnya dan melakoninya, dengan syarat lakon
itu tidak merugikan atau menyerang lakon yang lain. Ah, kau memang selalu
menyenangkan untuk dibayangkan.
Sebaiknya aku segera mandi dan berangkat ke kantor.
“Selamat
pagi bos, you look great this morning.
Pasti semalem juga great ya sama yang
dirumah?”, sapa Rina ketika aku baru saja memasuki lobby kantor
“Hahaha.
Kamu bisa aja Rin, gimana posisi kurs saat ini? Getting worse kah? Or malah
getting even super hyper worse?
Hahaha.”, timpalku sembari bercanda
“Ah
si bos ini ngawur aja. Udah tau keadaan lagi begini. Eh bos, kalo kelebihan
dollar boleh lho bagi-bagi. Hehehehe.”, balas Rina sembari berlalu ke
ruangannya
“Hahahaha.
Kamu itu pagi-pagi udah ijo aja
matanya. Hehehehe.”, sahutku
Kembali
lagi ke rutinitas Senin sampai Jumat. Meja kantor yang pinggirannya sudah
kumal. Foto wajahmu yang indah dan menyegarkan diatasnya. Kontras dengan
tumpukan berkas yang memenuhi sebagian besar meja kerja ini. Dulu di ruangan
ini terdapat jam dinding yang suara detaknya amat mengganggu. Kini sudah
diganti dengan yang lebih senyap dan bisa berdamai dengan tingkat stress-ku.
Aku masih ingat ketika si Burhan, orang dari Bidang Umum bingung ketika kusuruh
dia untuk mencari jam yang senyap.
Waktu itu Ia berkata, “Semua
penjual jam heran sama saya Pak, karena tiap jam dinding saya cek pake kuping.
Satu persatu”.
Seringkali aku berpikir,
setelah menjalani hidup denganmu aku banyak berubah. Salah satunya adalah cara
dirimu berdamai dengan suatu hal yang secara tidak langsung merubahku juga.
Pada kasus jam di kantor itu aku jadi nampak tidak bisa berdamai dengan suatu
masalah, padahal hal itu kulakukan untuk berdamai dengan masalahku tersebut.
Seperti dirimu dengan teralis di jendela rumah kita itu. Persis. Tapi aku
menjadi paham bagaimana sikap permisif dalam hidup kita itu malah memperburuk
keadaan. Dan parahnya, kita menjadi pembohong bagi diri kita sendiri. Ah
sudahlah, sekarang aku hanya ingin bekerja dan cepat pulang.
Malam ini kau lebih dulu
pulang, segera saja kuketahui dari aroma masakan yang tercium semenjak dari
depan pintu. Dan benar saja, seperti dugaanku selanjutnya, engkau memasak sayur
lodeh khasmu. Dengan terong hijau dan udang. Segera saja aku aku lepas sepatu,
kemeja dan celana kantorku. Kau sudah menunggu di meja makan, dengan daster
jingga yang kita beli di pasar Sukowati saat honeymoon di Bali. Kemudian aku memberi kecupan tepat di dahimu.
“Bagaimana hari ini
sayang?”, dengan lembut ia memulai percakapan.
“Seperti biasa, tumpukan
berkas biasa, angka-angka biasa, kegilaan biasa honey”, jawabku separuh mengeluh.
“Keadaan belum juga membaik
ya tampaknya?”, balasnya sambil mengambilkan seceruk nasi untukku.
“Ya, tampaknya akan terus
begini untuk waktu yang lama. Bagaimana dengan harimu? Keadaan masih aman
kan?”, tukasku serius sambil menatap matanya.
“Aman. Tenang saja, jika
situasi memburuk aku akan bilang padamu sayang”, ujarnya mencoba meyakinkanku.
“Jika memburuk cuti saja,
atau keluar juga malah lebih baik. Kita sudah pernah membicarakan ini kan?”,
aku membalas dengan cepat sembari menuangkan sayur lodeh ke piringku.
“Iya, tapi aku masih ingin
berfokus karir. Sudahlah, aku ingin jalani dulu. Sebaiknya kita makan dengan
tenang sekarang”, ujarnya sedikit kesal.
Kita mulai terpaku pada
sendok dan piring masing-masing. Aku menatapmu, matamu yang sipit, mulutmu
sedikit cemberut, dahimu yang sesekali mengernyit, namun elok dengan beberapa
helai rambut poni yang menutupinya. Seakan memperlihatkan perjuanganmu untuk
membuat masakan yang matang tepat setelah aku tiba di rumah. Tiba-tiba saja aku
mengecup keningmu sekali lagi.
“Sudah,
ayo cepat habiskan. Jangan lupa tugasmu untuk mencuci piring. Oya, besok
mungkin aku pulang larut. Besok bakal menjadi hari besar. Tapi tenang saja,
kemungkinan besar aku hanya meliput di sekitar kantor.”, katanya sebagai
balasan dari kecupanku.
“Hmm, baiklah. Ingat-ingat
ya pesanku. Tahun ini saja.”, jawabku padanya
“Iya-iya ah, kau mulai lagi
seperti ibuku saja.”, timpalnya ketus
Aku kembali berada di dapur,
mempekerjakan keran, bak cuci piring, dan spon pencuci piring. Entah kenapa aku
membuka jendela di malam ini. Kulihat awan malam yang begitu aneh, menutupi
rembulan. Segera saja aku merinding. Dalam hati aku mencoba optimis. Semoga ini
bukan pertanda yang buruk.
Di kamar, kau sudah separuh
tertidur, badanmu yang indah meringkuk menghadap utara. Kau memunggungi bagian
kasurku, kulihat beberapa buku menambah tumpukan di meja kecil yang berada di
sampingmu. Mala mini kau menggunakan daster yang berbeda, punggungmu terlihat
jelas. Putih bagai rembulan purnama, kontras dengan yang aku lihat dari jendela
malam ini. Aku membuntuti tengkukmu, mengecupnya perlahan. Segera saja kau
berbalik menghadapku.
“Menurutmu apakah pergerakan
esok akan berjalan sesuai dengan tujuannya?”, tiba-tiba saja ia memberi
pertanyaan yang serius.
“Hah? Aku juga tidak tahu.
Mengapa kau menyebutnya pergerakan? Bukankah media menyebutnya revolusi atau
semacamnya?”, jawabku padanya.
“Ah, itu hanyalah agenda
setting saja sayang. Kan tempo dulu aku sudah bilang, media yang sensasional
yang akan laris. Kata revolusi kan terdengar lebih sensasional daripada
pergerakan?”, jawabnya sambil memegang pundakku.
“Namun bukankah artinya juga
berbeda? Bukan dalam hal sensasi saja kan?”, tanyaku padanya lebih lanjut.
“Memang berbeda. Bagiku hal
yang akan terjadi esok masih sebatas pergerakan. Embel-embel revolusi itu
bagiku terlalu over. Mereka tidak
tahu yang mereka hadapi siapa. Orang-orang yang memiliki pemikiran fundamental.
Mereka tak mudah menerima perubahan. Apalagi revolusi.”, jawabnya tegas dan
yakin
“Tapi menurutmu, hal yang
kau sebut pergerakan itu baik kan? Setidaknya hal itu punya tujuan merubak yang
selama ini bobrok dan korup. Iya kan?”, jawabku separuh bertanya
“Memang baik, aku pun
mendukung mereka melakukan itu besok. Dan mereka pun sepertinya punya pemaknaan
yang sama denganku”, jawabnya lagi.
“Maksudmu pergerakan, bukan
revolusi?”, jawabku kembali sambil mengelus dahinya.
“Iya, kau lihat sendiri kan
dari kemarin-kemarin. Tak ada teriakan revolusi atau semacamnya. Yang ada hanya
perubahan, mereka ingin perubahan. Mungkin mereka sadar bahwa revolusi itu
tidak perlu atau malah, revolusi itu hal yang mustahil.”, jawabnya yakin
“Memang, menurutku
orang-orang awam belum mengerti benar apa arti dari revolusi itu sendiri. Yang
jelas mereka hanya ingin perubahan dari yang bobrok menjadi yang lebih baik.
Tapi yang jelas kurasakan sendiri, semua embel-embel revolusi itu malah membuat
perekonomian negara ini makin lemah. Kurs kita menurun drastis.”, terangku
padanya.
“Hmm, jadi memang benar
perkataan orang-orang jaman dulu. Selalu ada harga dari sebuah revolusi. Dan
kini, selalu ada harga dari setiap pergerakan”, ujarnya sambil mengelus dadaku
“Mungkin memang benar begitu
adanya. Sudahlah, kita hanya bisa berharap semua ini akan membuat keadaan
menjadi lebih baik. Sebaiknya kita tidur sekarang. Selamat malam sayangku.”,
kataku mengakhiri pembicaraan sambil mngecup lagi dahinya.
“Selamat malam juga sayang”,
jawabnya lirih sembari mengantuk
Pagi ini, masih seperti
biasanya. Kecuali dirimu yang berangkat lebih pagi dari biasanya, sehingga
ketika aku sampai ke dapur kau sudah bersiap pergi. Kita tak sempat berbincang,
komunikasi pagi itu hanya kecupan bibir yang kilat darimu. Aku pun maklum saja,
aku tak mau mengganggu cita-cita dan karirmu. Semenjak awal kita sudah
berkomitmen untuk menunda punya anak. Tapi setelah ibuku mendesak, maka kita
pun sepakat tahun depan kita akan berusaha memiliki anak. Kaupun telah setuju
untuk keluar dari pekerjaanmu dan mulai berfokus menjadi ibu rumah tangga.
Setelah selesai melakukan
tugas cuci piring, segera saja aku berkemas pergi ke kantor. Sebelumnya kulihat
sekeliling dapur, aku baru sadar ada yang berbeda, ternyata pagi ini kau
terlalu terburu-buru sehingga lupa membuka jendela seperti biasanya. Aku
membayangkan di hari Minggu, kita biasa menghabiskan banyak waktu di sini.
Membuatku tak sabar dan ingin segera mempercepat waktu. Ah, aku harus segera
bergegas. Agar waktu juga ikut bergegas bersamaku.
Hari itu di suasana kantor
amat membosankan, orang-orang nampak tegang dan minim komunikasi. Ketegangan
itu bertambah ketika televisi di kantor menyiarkan bentrok para pro-perubahan
atau revolusi dengan aparat. Dan benar saja, tiba-tiba sepasukan polisi datang
ke kantor dan menyuruh kami untuk segera pulang lebih awal dan mengevakuasi
diri sebelum bentrokan menjadi kerusuhan besar-besaran. Dadaku langsung terasa
sesak, aku teringat istriku.
Handphone istriku
tak dapat dihubungi, mungkin ia sedang sibuk atau dalam mode silent. Itu tebakan sekaligus harapanku.
Aku bergegas pulang. Diperjalanan kulihat bentrokan semakin parah dan beringas.
Banyak jalanan ditutup pagar kawat berduri, asap hitam dimana-mana. Sesampainya
dirumah aku langsung bergegas menelepon kantor istriku, memastikan keadaannya.
Berulang kali aku menelepon tak ada yang mengangkat. Akhirnya setelah hampir
setengah jam aku mencoba menelpon, aku mendapat jawaban. Mereka bilang istriku
masih belum dapat dihubungi.
Empat hari telah berlalu.
Istriku belum juga ditemukan. Jawaban dari polisi masih membingungkan, ada
kemungkinan ia hilang atau meninggal bersama ratusan orang dalam kerusuhan itu.
Yang jelas mereka ingin aku ikhlas akan segala kenyataan. Mudah saja bagi
mereka untuk berkata.
Pagi ini berbeda. Walaupun aku
di dapur yang sama. Mencuci piring yang sama. Aku membuka jendela lebar-lebar.
Menyetel radio. Pagi ini kau menjadi dirimu di pagi hari kita. Aku teringat
perkataanmu malam itu bahwa ada harga dari setiap revolusi. Akupun mulai
bertanya, inikah harga yang harus kubayar untuk revolusi atau malah sekedar
pergerakan ini? Haruskah istriku? Mariaku? Tak sadar kunyanyikan sebait lirik
dari lagu di radio pagi ini. Air mataku menetes.
A
broom is drearily sweeping
Up
the broken pieces of yesterday’s life
Somewhere
a queen is weeping
Somewhere
a king has no wife
And
the wind, it cries Mary
No comments:
Post a Comment