Wednesday, April 3, 2013

The Wind Cries Mary


The Wind Cries Mary
oleh Giras Pasopati



T
ak ada yang berubah di ruangan ini dalam setiap paginya. Sinar matahari yang masuk lewat jendela kayu di sisi timur ruangan ini, suara radio yang menyeruak dari sudut meja kabinet di sebelah meja makan, mug putih bergambar kerang yang berhiaskan jejak bibirmu yang berlipstik merah hati. Lipstik maroon itu. Kau yang selalu menyiapkan segala suasana pagi itu. Membuka jendela lebar-lebar, jendela yang dulunya berteralis yang kemudian membuatmu memaksaku untuk menghilangkan teralisnya. Kau membenci semua jendela berteralis, disaat semua orang modern berpikir tentang keamanan dan tetek bengeknya, kau merasa teralis hanya membikinmu merasa seperti burung dalam sangkar. Kau juga yang selalu menghidupkan radio keras-keras, stasiun radio yang sama tiap pagi, yang memutar lagu-lagu yang menurut sebagian orang sudah kuno. Menurutku asumsimu dan realitas yang terjadi setelah itu adalah selalu benar. Aku selalu terkaget bangun kemudian.
            Pagi kita selalu sempit dalam hal waktu dan bagi atmosfer kita berdua. Waktu kita hanya sebatas berapa lama mengunyah roti tawar dan menyeruput habis kopi hitam. Setelah itu kita berpendar dan kembali terang bersama di malam hari. Kau selalu berangkat lebih dahulu, meninggalkanku yang selalu menepati deal kita tempo dulu, mencuci piring jika kau yang menyiapkan makanan. Selalu seperti itu.
            Mungkin kau tak pernah tahu, setiap kau pergi duluan aku selalu bersenandung sambil mencuci piring, menyanyikan lagu-lagu di radio dengan kerasnya. Menyanyikannya, merayakan kebahagiaan yang picisan ini, sebuah kebebasan sebelum aku meninggalkan dapur dan berubah menjadi robot. Ya, beberapa dari kita semua mungkin akan menjadi robot kelak. Dan akupun tak pernah membayangkannya dulu waktu menjadi seorang aktivis mahasiswa. Rasa liar dan bangga selama menjadi aktivis mahasiswa bisa dengan mudahnya runtuh ketika kita secara tidak langsung dihadapkan pada realitas. Demi karier dan uang. Sisi liar dan rebel hilang saat kita semua tertunduk pada meja dengan soal-soal psikotes macam Baum Tree, Pauli, Wartegg, Eneagram dan lainnya. Membuat kebencian temporer pada para psikolog yang mencoba men-generalisir setiap individu.
            Berbeda denganmu, saat itu aku hanya tunduk saja demi kebanggaan orang tuaku, yang memiliki asa tinggi kepadaku. Dirimu saat itu masih kuat, hingga saat ini mungkin. Ketika kau memutuskan untuk menjadi seorang jurnalis dijaman yang otoriter ini, sebenarnya aku malu. Tapi kau tak pernah mempermasalahkan hal ini, kau bukan orang idealis yang fasis akan idealismenya. Kau selalu merasa semua orang memiliki hak untuk memilih lakonnya dan melakoninya, dengan syarat lakon itu tidak merugikan atau menyerang lakon yang lain. Ah, kau memang selalu menyenangkan untuk dibayangkan.  Sebaiknya aku segera mandi dan berangkat ke kantor.
            “Selamat pagi bos, you look great this morning. Pasti semalem juga great ya sama yang dirumah?”, sapa Rina ketika aku baru saja memasuki lobby kantor
            “Hahaha. Kamu bisa aja Rin, gimana posisi kurs saat ini? Getting worse kah? Or malah getting even super hyper worse? Hahaha.”, timpalku sembari bercanda
            “Ah si bos ini ngawur aja. Udah tau keadaan lagi begini. Eh bos, kalo kelebihan dollar boleh lho bagi-bagi. Hehehehe.”, balas Rina sembari berlalu ke ruangannya
            “Hahahaha. Kamu itu pagi-pagi udah ijo aja matanya. Hehehehe.”, sahutku
            Kembali lagi ke rutinitas Senin sampai Jumat. Meja kantor yang pinggirannya sudah kumal. Foto wajahmu yang indah dan menyegarkan diatasnya. Kontras dengan tumpukan berkas yang memenuhi sebagian besar meja kerja ini. Dulu di ruangan ini terdapat jam dinding yang suara detaknya amat mengganggu. Kini sudah diganti dengan yang lebih senyap dan bisa berdamai dengan tingkat stress-ku. Aku masih ingat ketika si Burhan, orang dari Bidang Umum bingung ketika kusuruh dia untuk mencari jam yang senyap.
Waktu itu Ia berkata, “Semua penjual jam heran sama saya Pak, karena tiap jam dinding saya cek pake kuping. Satu persatu”.
Seringkali aku berpikir, setelah menjalani hidup denganmu aku banyak berubah. Salah satunya adalah cara dirimu berdamai dengan suatu hal yang secara tidak langsung merubahku juga. Pada kasus jam di kantor itu aku jadi nampak tidak bisa berdamai dengan suatu masalah, padahal hal itu kulakukan untuk berdamai dengan masalahku tersebut. Seperti dirimu dengan teralis di jendela rumah kita itu. Persis. Tapi aku menjadi paham bagaimana sikap permisif dalam hidup kita itu malah memperburuk keadaan. Dan parahnya, kita menjadi pembohong bagi diri kita sendiri. Ah sudahlah, sekarang aku hanya ingin bekerja dan cepat pulang.
Malam ini kau lebih dulu pulang, segera saja kuketahui dari aroma masakan yang tercium semenjak dari depan pintu. Dan benar saja, seperti dugaanku selanjutnya, engkau memasak sayur lodeh khasmu. Dengan terong hijau dan udang. Segera saja aku aku lepas sepatu, kemeja dan celana kantorku. Kau sudah menunggu di meja makan, dengan daster jingga yang kita beli di pasar Sukowati saat honeymoon di Bali. Kemudian aku memberi kecupan tepat di dahimu.
“Bagaimana hari ini sayang?”, dengan lembut ia memulai percakapan.
“Seperti biasa, tumpukan berkas biasa, angka-angka biasa, kegilaan biasa honey”, jawabku separuh mengeluh.
“Keadaan belum juga membaik ya tampaknya?”, balasnya sambil mengambilkan seceruk nasi untukku.
“Ya, tampaknya akan terus begini untuk waktu yang lama. Bagaimana dengan harimu? Keadaan masih aman kan?”, tukasku serius sambil menatap matanya.
“Aman. Tenang saja, jika situasi memburuk aku akan bilang padamu sayang”, ujarnya mencoba meyakinkanku.
“Jika memburuk cuti saja, atau keluar juga malah lebih baik. Kita sudah pernah membicarakan ini kan?”, aku membalas dengan cepat sembari menuangkan sayur lodeh ke piringku.
“Iya, tapi aku masih ingin berfokus karir. Sudahlah, aku ingin jalani dulu. Sebaiknya kita makan dengan tenang sekarang”, ujarnya sedikit kesal.
Kita mulai terpaku pada sendok dan piring masing-masing. Aku menatapmu, matamu yang sipit, mulutmu sedikit cemberut, dahimu yang sesekali mengernyit, namun elok dengan beberapa helai rambut poni yang menutupinya. Seakan memperlihatkan perjuanganmu untuk membuat masakan yang matang tepat setelah aku tiba di rumah. Tiba-tiba saja aku mengecup keningmu sekali lagi.
  “Sudah, ayo cepat habiskan. Jangan lupa tugasmu untuk mencuci piring. Oya, besok mungkin aku pulang larut. Besok bakal menjadi hari besar. Tapi tenang saja, kemungkinan besar aku hanya meliput di sekitar kantor.”, katanya sebagai balasan dari kecupanku.
“Hmm, baiklah. Ingat-ingat ya pesanku. Tahun ini saja.”, jawabku padanya
“Iya-iya ah, kau mulai lagi seperti ibuku saja.”, timpalnya ketus
Aku kembali berada di dapur, mempekerjakan keran, bak cuci piring, dan spon pencuci piring. Entah kenapa aku membuka jendela di malam ini. Kulihat awan malam yang begitu aneh, menutupi rembulan. Segera saja aku merinding. Dalam hati aku mencoba optimis. Semoga ini bukan pertanda yang buruk.
Di kamar, kau sudah separuh tertidur, badanmu yang indah meringkuk menghadap utara. Kau memunggungi bagian kasurku, kulihat beberapa buku menambah tumpukan di meja kecil yang berada di sampingmu. Mala mini kau menggunakan daster yang berbeda, punggungmu terlihat jelas. Putih bagai rembulan purnama, kontras dengan yang aku lihat dari jendela malam ini. Aku membuntuti tengkukmu, mengecupnya perlahan. Segera saja kau berbalik menghadapku.
“Menurutmu apakah pergerakan esok akan berjalan sesuai dengan tujuannya?”, tiba-tiba saja ia memberi pertanyaan yang serius.
“Hah? Aku juga tidak tahu. Mengapa kau menyebutnya pergerakan? Bukankah media menyebutnya revolusi atau semacamnya?”, jawabku padanya.
“Ah, itu hanyalah agenda setting saja sayang. Kan tempo dulu aku sudah bilang, media yang sensasional yang akan laris. Kata revolusi kan terdengar lebih sensasional daripada pergerakan?”, jawabnya sambil memegang pundakku.
“Namun bukankah artinya juga berbeda? Bukan dalam hal sensasi saja kan?”, tanyaku padanya lebih lanjut.
“Memang berbeda. Bagiku hal yang akan terjadi esok masih sebatas pergerakan. Embel-embel revolusi itu bagiku terlalu over. Mereka tidak tahu yang mereka hadapi siapa. Orang-orang yang memiliki pemikiran fundamental. Mereka tak mudah menerima perubahan. Apalagi revolusi.”, jawabnya tegas dan yakin
“Tapi menurutmu, hal yang kau sebut pergerakan itu baik kan? Setidaknya hal itu punya tujuan merubak yang selama ini bobrok dan korup. Iya kan?”, jawabku separuh bertanya
“Memang baik, aku pun mendukung mereka melakukan itu besok. Dan mereka pun sepertinya punya pemaknaan yang sama denganku”, jawabnya lagi.
“Maksudmu pergerakan, bukan revolusi?”, jawabku kembali sambil mengelus dahinya.
“Iya, kau lihat sendiri kan dari kemarin-kemarin. Tak ada teriakan revolusi atau semacamnya. Yang ada hanya perubahan, mereka ingin perubahan. Mungkin mereka sadar bahwa revolusi itu tidak perlu atau malah, revolusi itu hal yang mustahil.”, jawabnya yakin
“Memang, menurutku orang-orang awam belum mengerti benar apa arti dari revolusi itu sendiri. Yang jelas mereka hanya ingin perubahan dari yang bobrok menjadi yang lebih baik. Tapi yang jelas kurasakan sendiri, semua embel-embel revolusi itu malah membuat perekonomian negara ini makin lemah. Kurs kita menurun drastis.”, terangku padanya.
“Hmm, jadi memang benar perkataan orang-orang jaman dulu. Selalu ada harga dari sebuah revolusi. Dan kini, selalu ada harga dari setiap pergerakan”, ujarnya sambil mengelus dadaku
“Mungkin memang benar begitu adanya. Sudahlah, kita hanya bisa berharap semua ini akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Sebaiknya kita tidur sekarang. Selamat malam sayangku.”, kataku mengakhiri pembicaraan sambil mngecup lagi dahinya.
“Selamat malam juga sayang”, jawabnya lirih sembari mengantuk
Pagi ini, masih seperti biasanya. Kecuali dirimu yang berangkat lebih pagi dari biasanya, sehingga ketika aku sampai ke dapur kau sudah bersiap pergi. Kita tak sempat berbincang, komunikasi pagi itu hanya kecupan bibir yang kilat darimu. Aku pun maklum saja, aku tak mau mengganggu cita-cita dan karirmu. Semenjak awal kita sudah berkomitmen untuk menunda punya anak. Tapi setelah ibuku mendesak, maka kita pun sepakat tahun depan kita akan berusaha memiliki anak. Kaupun telah setuju untuk keluar dari pekerjaanmu dan mulai berfokus menjadi ibu rumah tangga.
Setelah selesai melakukan tugas cuci piring, segera saja aku berkemas pergi ke kantor. Sebelumnya kulihat sekeliling dapur, aku baru sadar ada yang berbeda, ternyata pagi ini kau terlalu terburu-buru sehingga lupa membuka jendela seperti biasanya. Aku membayangkan di hari Minggu, kita biasa menghabiskan banyak waktu di sini. Membuatku tak sabar dan ingin segera mempercepat waktu. Ah, aku harus segera bergegas. Agar waktu juga ikut bergegas bersamaku.
Hari itu di suasana kantor amat membosankan, orang-orang nampak tegang dan minim komunikasi. Ketegangan itu bertambah ketika televisi di kantor menyiarkan bentrok para pro-perubahan atau revolusi dengan aparat. Dan benar saja, tiba-tiba sepasukan polisi datang ke kantor dan menyuruh kami untuk segera pulang lebih awal dan mengevakuasi diri sebelum bentrokan menjadi kerusuhan besar-besaran. Dadaku langsung terasa sesak, aku teringat istriku.
Handphone istriku tak dapat dihubungi, mungkin ia sedang sibuk atau dalam mode silent. Itu tebakan sekaligus harapanku. Aku bergegas pulang. Diperjalanan kulihat bentrokan semakin parah dan beringas. Banyak jalanan ditutup pagar kawat berduri, asap hitam dimana-mana. Sesampainya dirumah aku langsung bergegas menelepon kantor istriku, memastikan keadaannya. Berulang kali aku menelepon tak ada yang mengangkat. Akhirnya setelah hampir setengah jam aku mencoba menelpon, aku mendapat jawaban. Mereka bilang istriku masih belum dapat dihubungi.   
Empat hari telah berlalu. Istriku belum juga ditemukan. Jawaban dari polisi masih membingungkan, ada kemungkinan ia hilang atau meninggal bersama ratusan orang dalam kerusuhan itu. Yang jelas mereka ingin aku ikhlas akan segala kenyataan. Mudah saja bagi mereka untuk berkata.
Pagi ini berbeda. Walaupun aku di dapur yang sama. Mencuci piring yang sama. Aku membuka jendela lebar-lebar. Menyetel radio. Pagi ini kau menjadi dirimu di pagi hari kita. Aku teringat perkataanmu malam itu bahwa ada harga dari setiap revolusi. Akupun mulai bertanya, inikah harga yang harus kubayar untuk revolusi atau malah sekedar pergerakan ini? Haruskah istriku? Mariaku? Tak sadar kunyanyikan sebait lirik dari lagu di radio pagi ini. Air mataku menetes.
A broom is drearily sweeping
Up the broken pieces of yesterday’s life
Somewhere a queen is weeping
Somewhere a king has no wife
And the wind, it cries Mary




No comments:

Post a Comment