Thursday, June 21, 2012

The Marsinah Murder


Murder.
http://free.clipartof.com/133-Silhouetted-Hand-Gripping-Knife-Free-Halloween-Clipart-Illustration.png

"Suroto diam saja. Tak satupun kalimat meluncur dari mulutnya yang makin hitam karena kebanyakan merokok kretek. Matanya tanpa telusur pasti, kosong dan penuh lamunan. Yang pasti angin semakin dingin, menggesek tulang-tulang dua pendosa ini. Di kamar, istri Suroto sudah tertidur pulas karena kelelahan. Esok hari ia harus bekerja lembur, sebagai buruh."
S
uroto menghirup dalam-dalam rokok kretek yang baru saja dinyalakannya, segelas besar teh panas tanpa gula menemaninya, menjadikannya duet. Duet penghilang penat dan beban hidup. Diantara kumuhnya kehidupan pinggiran Jakarta yang diramaikan dengan bau gundukan sampah, bau selokan, teriakan anak-anak kumal dengan ingus menghiasi lubang hidung mereka. Dan ketika malam tiba akan tercipta “kehangatan” keluarga secara harafiah, dimana satu keluarga tidur berdempetan bagai ikan asin dalam satu kotak bambu.
            “Pak e, sampean gak mandi po? Aku gek balik iki, mau aku tuku gorengan iki. Tak deleh piring yo? Aku arep langsung adus.”, tiba-tiba suara istrinya memecah keheningan.
            “Gak ah, awakku ora kepenak. Mamak nek arep adus yo adus wae kono.”, timpal Suroto sambil terus menghisap kreteknya.
            Suroto malah makin asyik dengan penatnya, dengan kerut-kerut di dahinya, dengan beban hidupnya, dengan masa lalunya. Masa lalu yang selalu menghantuinya, masa lalu yang jika teringat membuat dirinya pening, membuat jantungnya berdegup cepat, membuat keringat dingin mengucur dari setiap pori-pori di kulitnya yang mulai kendor. Masa lalu yang selalu ingin ia lupakan
            Dan karena itulah, hanya duet kretek dan teh panas tanpa gula yang dapat membuat semuanya terasa lebih baik baginya. Mereka ini semacam unsur Yang dalam kehidupannya yang penuh dengan unsur Yin yang negatif. Selain itu duet keduanya juga perwujudan dari Yin Yang itu sendiri. Roko kretek yang menjadi andalannya adalah rokok kretek yang berharga mahal di pasaran, sedangkan teh panas tanpa gula adalah wujud dari barang murah, untuk menciptakan keseimbangan. Keseimbangan a la Suroto.
            Sejatinya teh panas tanpa gula itu bukan hanya semata-mata mengejar keseimbangan. Teh panas tanpa gula adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar gula darah dalam tubuh Suroto semenjak ia mengidap diabetes 3 tahun lalu. Ia pun kini semakin berhati-hati dalam melakukan aktivitas apapun. Pernah ia tanpa sengaja menendang kusen pintu, dan menyebabkan jempolnya membusuk dan bernanah hingga berminggu-minggu.
            “Pak e, sampean kok gak mangan gorengan e to? Ayo gek mlebu gek dipangan iki lho. Selak adem pak”, suara istrinya kembali menyeruak.
            “Dilit lah, tak ngentekne udud sik. Eman eman nek gak tak entekne. Udud larang.”, jawab Suroto santai.
            Selang beberapa waktu kemudian Suroto masuk ke ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumahnya. Kretek andalannya telah habis oleh api, angin, dan kerut-kerut di dahinya. Kini setting telah berubah, dari teras sempit ke ruang tamu dengan lemari TV coklat tua kusam yang dipenuhi debu dan dijejali berbagai barang di sampingnya. Tak lupa ganjalan dari koran yang dilipat sedemikian rupa terlihat menyembul dari kaki lemari TV kusam tersebut. Tak ada meja ataupun kursi di ruangan ini. Hanya ada karpet merah yang sudah kumal dan memiliki bekas akibat tersundut puntung rokok di sana-sini. Kontras dengan setting sinetron yang ditayangkan kala itu.
            Suroto mulai bosan dengan sinetron itu. Ia tak lagi tertarik dengan wajah bening para pemeran wanita ataupun fantasi tentang hidup mewah yang dicitrakan. Jempolnya mulai memencet satu demi satu tombol remote untuk mengganti saluran TV. Saluran TV pun berganti ke program acara berita. Sejenak ia menonton dengan seksama.
            “Jancuklah, nonton berita isine ming sing elek-elek doank. Ra tau ono sing nyenengke apa gawe ati tentrem. Jancuk, pemerintah karo negoro podho jancuke lah.”, tiba-tiba saja Suroto berkomentar, sewot sendiri setelah menonton berita.
            “Tok, tok, tok.”, bunyi pintu rumah Suroto yang diketuk.
            “Halo bos, suwe gak ketemu rek”, sesosok suara langsung mengikuti bunyi ketukan pintu rumah yang terbuka. Suaranya berat, khas orang berumur diatas 40 tahun yang banyak merokok.
            “Eh, koe to Net. Jancuk ki, kaget aku rek tak kiro sopo. Kok iso tekan kene kowe? Kok gak ngabari sik?”, ujar Suroto sembari terkaget melihat siapa yang datang dengan postur tubuh tinggi besar berjaket kulit kumal.
            “Hehe, sori bos. Aku ya ming mampir kok iki rek. Piye kabarmu bos? Lak yo apik wae to?”, ujar Jonet menimpali.  
            “Kene dipenake sik kene. Manggon opo anane. Lha emang situ arep nangdi? Kok iso ngerti omahku? Yo ngene ki Net, urip susah tur digawe seneng wae.”, jawab Suroto
            “Aku arep neng Priok bos. Kancane adiku nawari gawean neng pelabuhan. Halah, saiki ki sing penting urip seneng. Banda ki ora digawa mati bos. Iya to?”, timpal Jonet sembari duduk bersila di ruang tamu Suroto.
            Ketika mereka masih asyik berbincang, datanglah istri Suroto yang baru saja selesai mandi dan berdandan. Tampaknya Ia merasa penasaran dengan tamu yang sangat akrab dengan suaminya itu.
            “Lha iki bojoku Net. Mak, kenalke iki Jonet. Kancaku sak SMA, sak ndeso  mbiyen. Saiki arep menyang Priok, tapi mampir kene sik.”, ujar Suroto melihat kedatangan istrinya. Istrinya langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
            “Temen sak kampung to mas? Ke Priok mau ngapain mas? Mau ke Sumatra ya?", tanya istri Suroto sembari bersalaman.
            “Wah, gak kok mbak. Cuma mau kerja di pelabuhan.”, jawab Jonet.
            “Wis mak, gawekno kopi loro karo gorengane sisan ya?”, sahut Suroto kepada istrinya.
            Istrinya segera berlalu ke dapur, menyiapkan suguhan tadi kepada tamu suaminya. Sementara Suroto semakin asyik dalam perbincangannya bersama Jonet. Dan tidak berapa lama waktu berselang, istri Jonet kembali membawa nampan berisikan 2 gelas kopi hitam lengkap dengan sepiring gorengan yang baru ia beli tadi.
            “Wah, matur nuwun lho mbak. Malah dadi ngrepoti to aku.”, ujar Jonet
            “Halah, koe kui gak usah cangkeman to Net. Wis ayo gek diombe kopine terus dipangan kui gorengane.”, sahut Suroto.
            “Hehe. Nek pindah neng teras wae pye To? Ben iso ngrasake angin”, timpal Jonet lagi.
            “Yo gak papa. Ayo gek pindah wae. Ben le jagongan iso enak ambek ngrokok to karepmu? Hehe.”, jawab Suroto sambil membawa nampan saji.
            Mereka pun kini berpindah ke teras sempit di rumah Suroto tersebut. Teras itu dibatasi pagar tembok yang catnya sudah kusam. Cat yang seharusnya berwarna putih itu kini berubah warna kecoklatan di sana-sini. Beberapa pot dengan tanaman yang kering dan bahkan meranggas berada di atasnya. Angin malam samar-samar berhembus menggoda mereka berdua. Bercampur bau selokan kota metropolitan yang khas. Memberi sentuhan perfecto dalam lingkungan pinggiran yang kumuh ini.
            “Lha anakmu nangdi To? Kok aku gak ruh? Koe kan duwe anak to?”, ujar Jonet memulai perbincangan lagi.
            “Anakku wis gak ono Net. Dibegal bajingan neng jembatan layang pas balik kerjo seko Cikarang”, jawab Suroto dengan nada lirih.
            “Hah? Tenane? Ngapurane yo. Aku kudune rasah takon mau. Sing sabar yo To, kabeh ono hikmahe.”, ujar Jonet menenangkan.
            “Iyo Net. Aku yo wis ikhlas kok. Mungkin iki balesane seko Gusti Allah. Koe ngerti kan maksudku?, timpal Suroto serius.
            “Wis lah To. Sing mbiyen rasah dipikir meneh. Ming dadi pikiran, dadi penyakit. Terus saiki koe kerja opo? Bojomu yo kerja?”, Jonet bertanya lagi.
            “Aku wis ora kerja. Aku metu seko pabrik tahu, awakku wis gak kuat Net. Saiki tinggal bojoku sing kerja. Dadi buruh neng pabrik sabun.”, jawab Suroto.
            “Yowis apik to. Sing penting ojo digawe ngoyo. Saiki urip santai wae, sing penting cukup. Rasah mikir aneh-aneh.”, timpal Jonet.
            “Tapi aku isih tetep kelingan Net, terutama akhir-akhir iki. Kowe aman-aman wae to tekan saiki? Ono polisi sing nggoleki koe ora selama iki?”, tanya Suroto.
Ora ono To. Tenang wae, kan mbiyen awak dewe yo karo aparat pas nyiksa Marsinah? Ora mungkin nek ono sing wani takon. Njaluk tak catut jenenge po?”, jawab Jonet berani.
Ojo ngomong ngono. Saiki jamane wis berubah. Kabeh iso diusut meneh, direkayasa meneh. Awak dewe ki wong biadab Net. Aku wis njaluk ngapura Gusti. Tur yo aku siap nek sesuk bakal mlebu neraka.”, ujar Suroto lirih.
Mereka berdua adalah orang yang ikut bertanggung jawab atas kematian Marsinah, seorang pemimpin gerakan buruh di Sidoarjo pada tahun 90-an. Ceritanya bermula dari awal tahun 1993, ketika Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993.
Sebelum mayatnya ditemukan tanggal 9 Mei 1993 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993.
Penemuan mayat Marsinah, telah menimbulkan tanda tanya besar apakah kematiannya terkait dengan unjuk rasa di PT. CPS atau sekedar pembunuhan biasa. Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"
Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai isu yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah".
Marsinah dikenang sebagai satu-satunya kaum buruh perempuan yang meninggal karena sebuah perjuangan. Kasus pembunuhan Marsinah sampai hari ini masih buram. Tidak ada yang dinyatakan bersalah di muka pengadilan. Padahal disinyalir, ada 27 orang yang harusnya ikut bertanggung atas terjadinya pembunuhan sadis ini, dan banyak diantaranya adalah aparat militer dan kepolisian.
Suroto masih ingat betul bagaimana ia ikut menyekap Marsinah dan menyaksikan bagaimana teman-temannya menyiksa Marsinah. Ia adalah salah satu orang bayaran pabrik yang diutus bos untuk menyekap Marsinah. Setelah kasus ditutup, ia hijrah ke Jakarta bersama istrinya. Ia sempat bekerja menjadi office boy, kernet bis, dan terakhir bekerja di pabrik tahu lokal. Sedangkan Jonet sendiri adalah salah satu anggota Kodim yang terlibat. Ia ikut memperkosa dan menyogok vagina Marsinah dengan kayu hingga hancur. Setelah dinyatakan bebas murni, ia keluar dari kesatuan dan sempat bekerja di IPTN hingga akhirnya terkena PHK dan mulai kerja serabutan. Bahkan Jonet pernah beberapa kali ikut dalam pekerjaan kriminal. Mereka ingat betul seperti apa malam itu berubah menjadi neraka bagi Marsinah. Mungkin jika Leo Tolstoy menyaksikan malam itu, ia akan bilang bahwa di malam itu tak ada cinta dan tak ada Tuhan.
            “Wis lah To, saiki aku lagi ra pingin mbahas kui. Koe ngerti to nasib Suwono, satpam pabrik sing keno 2 tahun? Isih untung awak dewe ora keno endus babar blas. Uripku wis susah saiki. Ojo mbok gawe tambah susah. Dilit maneh aku menyang Priok, sak udud-an meneh ya. Ben tenang pikirku.”, jawab Jonet lirih, penuh beban.
            Suroto diam saja. Tak satupun kalimat meluncur dari mulutnya yang makin hitam karena kebanyakan merokok kretek. Matanya tanpa telusur pasti, kosong dan penuh lamunan. Yang pasti angin semakin dingin, menggesek tulang-tulang dua pendosa ini. Di kamar, istri Suroto sudah tertidur pulas karena kelelahan. Esok hari ia harus bekerja lembur, sebagai buruh.

No comments:

Post a Comment