Murder. http://free.clipartof.com/133-Silhouetted-Hand-Gripping-Knife-Free-Halloween-Clipart-Illustration.png |
"Suroto diam saja. Tak satupun kalimat meluncur dari mulutnya yang makin hitam karena kebanyakan merokok kretek. Matanya tanpa telusur pasti, kosong dan penuh lamunan. Yang pasti angin semakin dingin, menggesek tulang-tulang dua pendosa ini. Di kamar, istri Suroto sudah tertidur pulas karena kelelahan. Esok hari ia harus bekerja lembur, sebagai buruh."
S
|
uroto
menghirup dalam-dalam rokok kretek yang baru saja dinyalakannya, segelas besar
teh panas tanpa gula menemaninya, menjadikannya duet. Duet penghilang penat dan
beban hidup. Diantara kumuhnya kehidupan pinggiran Jakarta yang diramaikan
dengan bau gundukan sampah, bau selokan, teriakan anak-anak kumal dengan ingus
menghiasi lubang hidung mereka. Dan ketika malam tiba akan tercipta
“kehangatan” keluarga secara harafiah, dimana satu keluarga tidur berdempetan
bagai ikan asin dalam satu kotak bambu.
“Pak e, sampean gak mandi po? Aku
gek balik iki, mau aku tuku gorengan
iki. Tak deleh piring yo? Aku arep langsung adus.”,
tiba-tiba suara istrinya memecah keheningan.
“Gak
ah, awakku ora kepenak. Mamak nek arep adus yo adus wae kono.”,
timpal Suroto sambil terus menghisap kreteknya.
Suroto malah makin asyik dengan
penatnya, dengan kerut-kerut di dahinya, dengan beban hidupnya, dengan masa
lalunya. Masa lalu yang selalu menghantuinya, masa lalu yang jika teringat
membuat dirinya pening, membuat jantungnya berdegup cepat, membuat keringat
dingin mengucur dari setiap pori-pori di kulitnya yang mulai kendor. Masa lalu
yang selalu ingin ia lupakan
Dan karena itulah, hanya duet kretek
dan teh panas tanpa gula yang dapat membuat semuanya terasa lebih baik baginya.
Mereka ini semacam unsur Yang dalam kehidupannya yang penuh dengan unsur Yin
yang negatif. Selain itu duet keduanya juga perwujudan dari Yin Yang itu
sendiri. Roko kretek yang menjadi andalannya adalah rokok kretek yang berharga
mahal di pasaran, sedangkan teh panas tanpa gula adalah wujud dari barang
murah, untuk menciptakan keseimbangan. Keseimbangan a la Suroto.
Sejatinya teh panas tanpa gula itu bukan hanya semata-mata mengejar keseimbangan. Teh panas tanpa gula adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar gula darah dalam tubuh Suroto semenjak ia mengidap diabetes 3 tahun lalu. Ia pun kini semakin berhati-hati dalam melakukan aktivitas apapun. Pernah ia tanpa sengaja menendang kusen pintu, dan menyebabkan jempolnya membusuk dan bernanah hingga berminggu-minggu.
Sejatinya teh panas tanpa gula itu bukan hanya semata-mata mengejar keseimbangan. Teh panas tanpa gula adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar gula darah dalam tubuh Suroto semenjak ia mengidap diabetes 3 tahun lalu. Ia pun kini semakin berhati-hati dalam melakukan aktivitas apapun. Pernah ia tanpa sengaja menendang kusen pintu, dan menyebabkan jempolnya membusuk dan bernanah hingga berminggu-minggu.
“Pak e, sampean kok gak mangan
gorengan e to? Ayo gek mlebu gek
dipangan iki lho. Selak adem
pak”, suara istrinya kembali menyeruak.
“Dilit
lah, tak ngentekne udud sik. Eman eman nek gak tak entekne. Udud larang.”,
jawab Suroto santai.
Selang beberapa waktu kemudian
Suroto masuk ke ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumahnya. Kretek andalannya
telah habis oleh api, angin, dan kerut-kerut di dahinya. Kini setting telah
berubah, dari teras sempit ke ruang tamu dengan lemari TV coklat tua kusam yang
dipenuhi debu dan dijejali berbagai barang di sampingnya. Tak lupa ganjalan
dari koran yang dilipat sedemikian rupa terlihat menyembul dari kaki lemari TV
kusam tersebut. Tak ada meja ataupun kursi di ruangan ini. Hanya ada karpet
merah yang sudah kumal dan memiliki bekas akibat tersundut puntung rokok di
sana-sini. Kontras dengan setting sinetron yang ditayangkan kala itu.
Suroto mulai bosan dengan sinetron
itu. Ia tak lagi tertarik dengan wajah bening para pemeran wanita ataupun
fantasi tentang hidup mewah yang dicitrakan. Jempolnya mulai memencet satu demi
satu tombol remote untuk mengganti saluran TV. Saluran TV pun berganti ke
program acara berita. Sejenak ia menonton dengan seksama.
“Jancuklah,
nonton berita isine ming sing elek-elek
doank. Ra tau ono sing nyenengke
apa gawe ati tentrem. Jancuk, pemerintah karo negoro podho jancuke lah.”, tiba-tiba saja Suroto berkomentar,
sewot sendiri setelah menonton berita.
“Tok, tok, tok.”, bunyi pintu rumah
Suroto yang diketuk.
“Halo bos, suwe gak ketemu rek”,
sesosok suara langsung mengikuti bunyi ketukan pintu rumah yang terbuka.
Suaranya berat, khas orang berumur diatas 40 tahun yang banyak merokok.
“Eh, koe to Net. Jancuk ki, kaget aku rek tak kiro sopo. Kok iso tekan kene kowe? Kok gak ngabari sik?”, ujar Suroto sembari
terkaget melihat siapa yang datang dengan postur tubuh tinggi besar berjaket
kulit kumal.
“Hehe, sori bos. Aku ya ming
mampir kok iki rek. Piye kabarmu bos? Lak yo apik wae to?”, ujar Jonet menimpali.
“Kene
dipenake sik kene. Manggon opo anane. Lha emang situ arep nangdi? Kok iso ngerti omahku?
Yo ngene ki Net, urip susah tur digawe seneng wae.”, jawab Suroto
“Aku arep neng Priok bos. Kancane
adiku nawari gawean neng pelabuhan. Halah, saiki ki sing penting urip
seneng. Banda ki ora digawa mati
bos. Iya to?”, timpal Jonet sembari
duduk bersila di ruang tamu Suroto.
Ketika mereka masih asyik
berbincang, datanglah istri Suroto yang baru saja selesai mandi dan berdandan.
Tampaknya Ia merasa penasaran dengan tamu yang sangat akrab dengan suaminya
itu.
“Lha iki bojoku Net. Mak, kenalke
iki Jonet. Kancaku sak SMA, sak ndeso mbiyen. Saiki arep menyang Priok, tapi mampir kene sik.”, ujar Suroto melihat kedatangan istrinya. Istrinya
langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Temen sak kampung to mas? Ke
Priok mau ngapain mas? Mau ke Sumatra ya?", tanya istri Suroto sembari
bersalaman.
“Wah, gak kok mbak. Cuma mau kerja di pelabuhan.”, jawab Jonet.
“Wis
mak, gawekno kopi loro karo gorengane sisan ya?”, sahut
Suroto kepada istrinya.
Istrinya segera berlalu ke dapur,
menyiapkan suguhan tadi kepada tamu suaminya. Sementara Suroto semakin asyik
dalam perbincangannya bersama Jonet. Dan tidak berapa lama waktu berselang,
istri Jonet kembali membawa nampan berisikan 2 gelas kopi hitam lengkap dengan
sepiring gorengan yang baru ia beli tadi.
“Wah, matur nuwun lho mbak. Malah dadi ngrepoti to aku.”, ujar Jonet
“Halah, koe kui gak usah cangkeman to Net. Wis ayo gek diombe kopine
terus dipangan kui gorengane.”, sahut
Suroto.
“Hehe. Nek pindah neng teras wae pye
To? Ben iso ngrasake angin”, timpal
Jonet lagi.
“Yo gak papa. Ayo gek pindah wae. Ben
le jagongan iso enak ambek ngrokok to
karepmu? Hehe.”, jawab Suroto sambil membawa nampan saji.
Mereka pun kini berpindah ke teras
sempit di rumah Suroto tersebut. Teras itu dibatasi pagar tembok yang catnya
sudah kusam. Cat yang seharusnya berwarna putih itu kini berubah warna
kecoklatan di sana-sini. Beberapa pot dengan tanaman yang kering dan bahkan
meranggas berada di atasnya. Angin malam samar-samar berhembus menggoda mereka
berdua. Bercampur bau selokan kota metropolitan yang khas. Memberi sentuhan perfecto dalam lingkungan pinggiran yang
kumuh ini.
“Lha
anakmu nangdi To? Kok aku gak ruh? Koe kan duwe anak to?”, ujar Jonet memulai perbincangan
lagi.
“Anakku wis gak ono Net. Dibegal bajingan neng jembatan layang pas balik
kerjo seko Cikarang”, jawab Suroto dengan nada lirih.
“Hah? Tenane? Ngapurane yo. Aku
kudune rasah takon mau. Sing sabar yo To, kabeh ono hikmahe.”, ujar Jonet menenangkan.
“Iyo
Net. Aku yo wis ikhlas kok. Mungkin iki balesane seko Gusti Allah. Koe
ngerti kan maksudku?, timpal Suroto
serius.
“Wis
lah To. Sing mbiyen rasah dipikir
meneh. Ming dadi pikiran, dadi
penyakit. Terus saiki koe kerja opo? Bojomu
yo kerja?”, Jonet bertanya lagi.
“Aku wis ora kerja. Aku metu seko pabrik
tahu, awakku wis gak kuat Net. Saiki tinggal bojoku sing kerja. Dadi
buruh neng pabrik sabun.”, jawab
Suroto.
“Yowis apik to.
Sing penting ojo digawe ngoyo. Saiki urip
santai wae, sing penting cukup. Rasah mikir
aneh-aneh.”, timpal Jonet.
“Tapi aku isih
tetep kelingan Net, terutama akhir-akhir iki. Kowe aman-aman wae to tekan
saiki? Ono polisi sing nggoleki koe ora selama iki?”, tanya Suroto.
“Ora ono To. Tenang wae, kan mbiyen awak dewe yo
karo aparat pas nyiksa Marsinah? Ora mungkin nek ono sing wani takon. Njaluk
tak catut jenenge po?”, jawab Jonet
berani.
“Ojo ngomong ngono. Saiki jamane wis berubah. Kabeh
iso diusut meneh, direkayasa meneh. Awak dewe ki wong biadab Net. Aku wis njaluk ngapura Gusti. Tur
yo aku siap nek sesuk bakal mlebu neraka.”, ujar Suroto lirih.
Mereka berdua adalah orang yang ikut bertanggung jawab atas kematian
Marsinah, seorang pemimpin gerakan buruh di Sidoarjo pada tahun 90-an.
Ceritanya bermula dari awal tahun 1993, ketika Gubernur KDH TK I Jawa Timur
mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji
pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,
namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong
membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993.
Sebelum mayatnya ditemukan tanggal 9 Mei 1993 di Dusun Jegong Kec.
Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera
Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam
aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam rapat yang membahas
rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah
adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan
dengan pihak perusahaan.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan
tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan
unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah
menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993.
Penemuan mayat Marsinah, telah menimbulkan tanda tanya besar apakah
kematiannya terkait dengan unjuk rasa di PT. CPS atau sekedar pembunuhan biasa.
Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"
Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS
dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya
berbagai isu yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan
masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan
Marsinah".
Marsinah dikenang sebagai satu-satunya kaum buruh perempuan yang
meninggal karena sebuah perjuangan. Kasus pembunuhan Marsinah sampai hari ini
masih buram. Tidak ada yang dinyatakan bersalah di muka pengadilan. Padahal
disinyalir, ada 27 orang yang harusnya ikut bertanggung atas terjadinya
pembunuhan sadis ini, dan banyak diantaranya adalah aparat militer dan
kepolisian.
Suroto masih ingat betul bagaimana ia ikut menyekap Marsinah dan
menyaksikan bagaimana teman-temannya menyiksa Marsinah. Ia adalah salah satu
orang bayaran pabrik yang diutus bos untuk menyekap Marsinah. Setelah kasus
ditutup, ia hijrah ke Jakarta bersama istrinya. Ia sempat bekerja menjadi
office boy, kernet bis, dan terakhir bekerja di pabrik tahu lokal. Sedangkan Jonet
sendiri adalah salah satu anggota Kodim yang terlibat. Ia ikut memperkosa dan
menyogok vagina Marsinah dengan kayu hingga hancur. Setelah dinyatakan bebas
murni, ia keluar dari kesatuan dan sempat bekerja di IPTN hingga akhirnya terkena
PHK dan mulai kerja serabutan. Bahkan Jonet pernah beberapa kali ikut dalam
pekerjaan kriminal. Mereka ingat betul seperti apa malam itu berubah menjadi
neraka bagi Marsinah. Mungkin jika Leo Tolstoy menyaksikan malam itu, ia akan
bilang bahwa di malam itu tak ada cinta dan tak ada Tuhan.
“Wis
lah To, saiki aku lagi ra pingin mbahas kui. Koe ngerti to nasib Suwono, satpam
pabrik sing keno 2 tahun? Isih untung awak dewe ora keno endus babar blas. Uripku wis susah saiki. Ojo mbok gawe tambah susah. Dilit
maneh aku menyang Priok, sak udud-an meneh ya. Ben tenang pikirku.”, jawab Jonet lirih,
penuh beban.
Suroto diam saja. Tak satupun
kalimat meluncur dari mulutnya yang makin hitam karena kebanyakan merokok
kretek. Matanya tanpa telusur pasti, kosong dan penuh lamunan. Yang pasti angin
semakin dingin, menggesek tulang-tulang dua pendosa ini. Di kamar, istri Suroto
sudah tertidur pulas karena kelelahan. Esok hari ia harus bekerja lembur,
sebagai buruh.
No comments:
Post a Comment