Saturday, January 11, 2014

Twenty Four Hours



Akhir-akhir ini, kesibukan kerja saya sebagai seorang jurnalis di media cetak ekonomi terbesar di dunia yang berbahasa Indonesia (guyonan antar media) mulai menyita banyak waktu yang menyangkut kenikmatan hidup. Yang jadi masalah sebenarnya lebih ke kenikmatan hidup, karena esensi waktu luang jika tidak dinikmati toh juga hampa. 

Ada beberapa anggapan yang menilai jurnalis adalah salah satu pekerjaan yang tidak membosankan. Hal itu karena setiap hari mereka membuat berita baru, dan kemungkinan 'membuat' isu baru. Namun beberapa orang tidak tahu, kadang hal membuat isu baru jika terus dilakukan setiap hari, pada akhirnya juga jadi rutinitas kan?


Bagaimanapun juga seseorang butuh hal lain di luar aktivitas yang sering dilakukan untuk sekedar menyegarkan pikiran ataupun fisik. Jadi ini tak ada kaitan dengan istilah 'mengeluh karena kerjaan'. Ini lebih ke bagaimana orang mulai mempergunakan waktu sempit mereka untuk mendapat fatamorgana di sela rutinitas yang produktif, selain weekend yang dihiasi kemacetan yang indah di kota yang penuh impian ini, Jakarta.


Karena itulah mendadak saya ingin sekali merubah pola rutinitas saya yang kian membosankan. Beberapa opsi mulai terpikir untuk bisa mendapat sebuah kenikmatan sesaat, di sela-sela waktu yang ada. Intinya bagaimana saya bisa menggunakan beberapa menit dalam 24 jam di setiap hari kerja untuk menyenangkan diri, bukan untuk bekerja kemudian pulang ke kos dan tidur sampai siang. Hehehe.


Banyak hal yang sebenarnya saya nikmati, seperti jalan-jalan, makan menu baru, minum anggur merah atau mencoba varian liquor baru, membaca buku, menonton film, memelihara hewan, berenang, menonton acara musik atau mendengarkan musik.


Mengenai jalan-jalan sebenarnya bisa multi nikmat jika saya mampir ke restoran baru, makan menu baru atau liquor yang anyar bagi lidah saya. Membaca buku paling enak sih di kamar, saya bukan orang yang bisa menikmati bacaan di kafe atau tempat publik lainnya.


Sementara menonton film sebenarnya juga bisa disambi ketika jalan-jalan. Memelihara hewan? Sebenarnya saya berhasrat untuk memelihara ayam kate di kos, tetapi agaknya itu butuh negosiasi dengan ibu kos saya. Adapun berenang juga bisa jadi opsi jika kolamnya tidak terlalu dalam. Hehehe.


Lebih lanjut, mengenai menonton konser, gigs atau acara musik lainnya sebenarnya hampir sama dengan kebanyakan acara di atas, yang notabene membutuhkan waktu luang tersendiri. Nah, jadi yang paling memungkinkan adalah mendengarkan musik.


Mungkin, musik adalah pelarian termudah bagi orang-orang yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Dalam kasus pekerjaan saya, beberapa jurnalis juga tercatat tersedot magnet musik. Sebut saja Brian Warner yang akhirnya membentuk band industrial rock Marilyn Manson, atau Ananda Badudu dari Tempo dengan duo akustik Banda Neira.


Atas dasar itu, sejak awal minggu lalu saya mulai mencanangkan program baru dalam rutinitas, yaitu mendengarkan musik yang diacak setiap harinya. Idenya sederhana, berawal dari banyak file musik yang sebenarnya jarang saya dengarkan. Karena saya tipikal orang yang senang mengunduh album musik, tapi hanya mendengar track yang disukai saja.


Saya masukkan saja semua file yang bisa masuk ke memory handphone. Mode shuffle atau acak saya aktifkan. Efeknya, beberapa lagu yang hampir tak pernah saya putar terdengar menarik, dan ada juga yang terdengar nyentrik.


Sampai akhirnya saya juga mendengarkan musik ketika mandi atau membuang hajat, rasanya menyenangkan, apalagi jika ada lagu yang terdengar anthemic . Selain itu, saya juga menemukan beberapa lagu yang akhirnya menjadi favorit saya karena liriknya yang apik dan anthemic


Salah satu lagu itu berjudul “Twenty Four Hours”, dinyanyikan dengan kekuatan sihir oleh Joy Division. Liriknya sangat apik, terkait dengan hari yang terasa penuh dan kadang melelahkan, juga keinginan untuk “menemukan” takdir. Joy Division adalah band post-punk asal Salford, Manchester, Inggris.




Nama Joy Division berasal dari istilah dalam perang dunia II terkait kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz. Dalam sebuah novel berjudul The House Of  Dolls diceritakan, Joy Division diduga merupakan sekelompok perempuan Yahudi yang ditahan di kamp konsentrasi dan disimpan untuk menjadi budak seksual tentara-tentara Nazi. 


Pemilihan nama Joy Division di Inggris adalah ide yang brilian. Bagi Inggris yang notabene adalah musuh Jerman sewaktu perang dunia II, nama itu memprovokasi. Ian Curtis, sang vokalis, yang menemukan nama itu untuk mengganti nama band ini sebelumnya, Warsaw. Nama  Warsaw  sendiri berasal dari salah satu track di album David Bowie, musisi idolanya.


Ian memang dikenal piawai dalam membuat dan menyanyikan lirik yang anthemic, karena intonasinya yang pelan tetapi jelas, meski nadanya datar. Selama ini mungkin lagu yang paling dikenal orang dari Joy Division adalah yang berjudul "Love Will Tear Us Apart", tapi lagu ini tidak saya sarankan untuk yang sedang memiliki masalah asmara.  


Sang vokalis mempunyai sisi yang kelam namun jenius. Liriknya banyak menggambarkan keadaan emosi yang terisolasi, kematian, dan keterasingan. Hampir semua lirik Joy Division ditulis olehnya, inspirasinya datang dari W.S Burroughs, J.G Ballard dan David Bowie. 


Ian menulis lirik lirik itu di rumahnya yang masuk wilayah Barton Street, Macclesfield. Di rumah kecil itu, ia tinggal bersama istrinya, Deborah, yang merupakan kekasihnya sejak  SMA. Ian dan Deborah menikah di umur yang sangat muda, Ian 19 tahun dan Deborah 18 tahun. 


Pada Januari 1979 Ian didiagnosis mengidap penyakit epilepsi. Ketidakpastian kambuhnya penyakit tersebut yang biasa di awali kejang-kejang dan keharusan meminum obat secara teratur membuat mood-nya mudah berubah dengan drastis. 


Epilepsinya sempat kambuh saat ia sedang berada di atas stage yang membuatnya tidak mampu melanjutkan pertunjukan, hal ini membawa dampak pada performa Joy Division. Beberapa kali konser Joy Division dibatalkan karena Ian sakit. Epilepsi pada akhirnya, menjadi inspirasi Ian menulis lagu 'She's Lost Control'.


Kesibukannya bekerja di band juga menjadi malapetaka bagi pernikahannya. Ditambah adanya hubungan cinta yang dijalinnya dengan seorang jurnalis asal Belgia bernama Annik Honore yang semakin merapuhkan kehidupan rumah tangganya dengan Deborah. 


Kepada Annik, Ian mengatakan "my marriage was a mistake". Dalam kasus ini, Ian lebih memilih Annik, tapi ia tidak mau melukai Deborah yang sudah banyak membantunya di saat-saat sulit dan sangat mencintainya.  Hal ini yang menjadi inspirasinya menulis lagu 'Love Will Tear us Apart'. 


Akhirnya pada Mei 1980, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-24, Ian memutuskan untuk bunuh diri di rumahnya di Barton Street, Macclesfield. Sebelum meninggal Ian mendengarkan lagu dari Iggy Pop dan menulis surat yang panjang untuk mantan istrinya, kemudian ia gantung diri di dapur menggunakan tali mesin cuci. 


Jenazahnya ditemukan Deborah ketika Deborah kembali ke rumah di hari yang sama. Malam sebelum Ian bunuh diri, mereka bertengkar karena Deborah sedang memproses gugatan cerai kepada Ian. 


Namun, lebih dari semua obral sompral tadi, ini hanyalah cara saya untuk memudarkan kebosanan akan rutinitas, kekecewaan, dan ketidak puasan diri akan beberapa hal yang sempat dialami. Toh, ternyata moment buang hajat pun kini bisa menjadi waktu yang tidak "wasted".


So this is permanence, love's shattered pride
What once was innocence, turned on its side
A cloud hangs over me, marks every move
Deep in the memory, of what once was love

Oh, how I realised how I wanted time
Put into perspective, tried so hard to find
Just for one moment, thought I'd found my way
Destiny unfolded, I watched it slip away

Excessive flashpoints, beyond all reach
Solitary demands for all I'd like to keep
Let's take a ride out, see what we can find
A valueless collection of hopes and past desires

I never realised the lengths I'd have to go
All the darkest corners of a sense I didn't know
Just for one moment, I heard somebody call
Looked beyond the day in hand, there's nothing there at all

Now that I've realised how it's all gone wrong
Gotta find some therapy, this treatment takes too long
Deep in the heart of where sympathy held sway
Gotta find my destiny, before it gets too late



1 comment: